Teori Kognitif: Albert Ellis dan Aaron Beck
ISI
1. Albert Ellis
A. Biografi
Albert
Ellis lahir pada tahun 1913 di Pittsburgh, ia dibesarkan di New York bersama
orang tuanya. Namun pada masa kecilnya, Ellis sering masuk rumah sakit akibat
berbagai penyakit yang dideritanya, salah satunya adalah penyakit ginjal.
Ditambah lagi kedua orang tuanya tidak begitu memperhatikannya, ayahnya sibuk
bekerja, sementara ibunya, tidak peduli kepadanya. Bahkan hampir setiap pagi ia
harus menyiapkan sarapan dan segala keperluannya sendiri tanpa bantuan dan
perhatian dari ibunya. Diusianya yang ke 12 tahun, kedua orang tua Ellis
bercerai. Walau masa kecilnya berjalan cukup berat bagi anak seusianya pada
saat itu, namun ia tetap bisa melewatinya dengan baik, berkat pemikirannya yang
cerdas dan kemauannya yang selalu ingin belajar.
Pada
awal karirnya dalam dunia psikologi, Ellis sangat yakin bahwa psikoanalisis
adalah terapi yang paling efektif. Namun seiring berjalannya waktu, klien-klien
yang sudah menjalani terapi dengannya tidak mengalami banyak kemajuan. Akhirnya
Ellis mulai mengembangkan REBT karena ia merasa kecewa dengan psikoanalisis dan
merasa bahwa terapi itu kurang efektif untuk beberapa orang.
Hingga
sampai saat ini, Albert Ellis terkenal sebagai pemikir dan pencetus Rational Emotive Behavior Therapy (REBT),
sebuah bentuk terapi yang populer dan banyak digunakan dalam proses konseling
saat ini.
B. Teori Kognitif Albert Ellis
REBT yang dimulai dengan ABC merupakan suatu konstruk
dasar pemikiran dari Albert Ellis. Pada pertengahan tahun 1950, Albert Ellis
memperkenalkan sebuah pendekatan yang dikembangkan dengan menekankan pada
pentingnya peran pikiran dan tingkah laku, yaitu Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) (Corey, 1995, p. 381).
Kata rasional yang dimaksud Ellis disini adalah sebuah pemikiran yang efektif
dalam membantu individu untuk memecahkan suatu masalah yang dapat membantu diri
sendiri (Self helping), bukan kognisi
yang valid secara empiris dan logis. Dalam buku Nelson-Jones, 1995, Ellis
menyatakan bahwa rasionalitas seseorang bergantung pada penilaian individu
terhadap emosi dan perasaannya, serta keinginan-keinginannya. Sementara kata Behavior (Tingkah laku) dalam REBT
beralasan bahwa setiap tingkah laku yang dimunculkan oleh seorang individu
pasti berkaitan erat dengan emosi dan perasannya (Nelson-Jones, 1995, p. 309).
Ellis kemudian mengembangkan sebuah format ABC untuk
menerangkan bahwa pemikiran atau keyakinan mereka akan mempengaruhi respon dari
emosi dan tingkah lakunya. Dimana A (Activating
Event) merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang menjadi sumber atau
cikal bakal dari suatu hal yang akan dihasilkan. B (Belief about the event) mengacu kepada suatu pemikiran irasional
yang didapat dari peristiwa ‘A’ tersebut. C (Consequences) merupakan konsekuensi yang didapat dari pemikiran
irasional tersebut, yang berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif. Walau
pemicunya adalah pengalaman-pengalaman nyata dan memang benar-benar menyebabkan
penderitaan, namun sesungguhnya keyakinan irasional kitalah yang mempersulit
dan memperbesar persoalan.
Lalu kemudian, Ellis menambahkan D dan E pada model
ini. Dimana D (Disputation) adalah
suatu bentuk perlawanan dari pemikiran-pemikiran irasional yang ada, hal ini
bisa dibantu oleh seorang terapis. Agar nantinya, klien dapat merasakan
dampak-dampak (E, Effects) yang lebih
positif, yang bisa mengubah pemikiran irasional tersebut ke pemikiran yang
lebih rasional.
Untuk lebih memahami model ABCDE ini, bisa dilihat
contoh dari model tersebut, agar lebih mudah dipahami:
A
(Activating Event) – Anda tidak lulus
pada suatu mata kuliah
B
(Belief about the event) – Karena hal
itu, anda merasa kurang percaya diri dan menganggap diri anda tidak begitu
pintar. Anda merasa gagal dalam hidup
C
(Consequences / Emotional or Behavioral
Response) – Kemudian anda merasa sedih akan hal itu dan memikirkannya
berlarut-larut. Karena perasaan dan emosi yang tidak terkontrol, akhirnya anda
merusak serta merobek semua catatan dan buku-buku yang ada, anda merasa sangat
depresi.
D
(Disputation) – Namun setelah anda berbicara
dengan orang terdekat tentang masalah yang ada. Anda akhirnya menyadari bahwa
anda tidak harus selalu lulus dalam semua matakuliah. Karena ada saatnya kita
gagal dan ada saatnya juga kita akan berhasil.
E
(New effects / emotions and behavior)
– Anda mungkin masih merasa sedikit sedih. Tetapi anda bertekad untuk mulai
belajar lebih baik lagi ke depannya, agar bisa mendapatkan hasil yang terbaik.
Dari model ABCDE ini, terlihat bahwa sebuah kejadian
atau peristiwa (A) bukanlah suatu pengaruh yang menyebabkan munculnya suatu
perasaan atau gangguan-gangguan emosi. Melainkan pemikiran (B) irasional dari
diri kita sendirilah yang akan menyebabkan timbulnya perasaan-perasaan yang
menganggu. Misalkan dari contoh diatas, kenyataan bahwa anda tidak lulus dalam
suatu matakuliah bukanlah hal yang menyebabkan anda sedih dan depresi.
Melainkan hal itu berasal dari perasaan bersalah dan pemikiran diri anda sendiri
yang merasa bahwa anda bukanlah orang yang pintar dan merasa gagal dalam hidup
yang menyebabkan anda depresi.
Oleh karena itu, Albert Ellis menyimpulkan bahwa
kerangka pemikiran yang tidak rasional merupakan sumber dari tekanan-tekanan
psikologi. Biasanya pemikiran-pemikiran tersebut lahir dari pernyataan ‘should’, ‘must’, or ‘need’. Ellis
mengidentifikasi tiga pemikiran irasional yang paling umum, mengenai tuntutan
tentang diri, orang lain ataupun lingkungan sekitar. Ketiganya ini disebut ‘The Three Basic Musts’, adapun yang
termasuk seperti dibawah ini:
1. ‘Saya
harus melakukan segalanya dengan sempurna, kalau tidak, maka saya ini tidak
berguna.’
2. ‘Orang-orang
disekitar saya harus menghargai dan baik kepada saya, jika tidak, maka mereka
bukan orang baik dan pantas untuk dihukum.’
3. ‘Saya
harus mendapatkan segala sesuatu yang saya inginkan, dan saya tidak boleh
mendapatkan apa yang tidak saya inginkan. Jika saya tidak mendapatkan yang saya
inginkan, maka saya tidak bisa mentolerasinya.’
Ketiga pemikiran irasional diatas bisa mengarah ke
penderitaan yang sia-sia. Contohnya, pemikiran yang pertama biasanya akan
mengarah pada kecemasan, depresi, malu, dan merasa bersalah. Pemikiran yang
keduanya biasanya mengakibatkan pada kemarahan, pasif-agresi, dan cenderung
melakukan kekerasan. Dan pemikiran yang ketiga biasa mengarah pada terlalu
memanjakan diri (Self-pity) dan
selalu menunda-nunda. Sifat-sifat tadi akan mengakibatkan beberapa masalah;
seperti, membuat kemampuan dan fleksibilitas kita dalam berpikir menjadi sulit
untuk mengarah pada emosi yang sehat atau tepat dan tingkah laku yang benar.
Dalam terapi rasional emotif behavior bahwa yang
dinamakan perilaku bermasalah adalah perilaku yang didasari oleh cara berfikir
yang irrasional. Albert Ellis mengemukakan indikator keyakinan irasional yang
berlaku secara universal. Indikator orang yang berkeyakinan irasional tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Ide
bahwa setiap orang dewasa pasti merasa ingin dicintai orang lain atas segala
yang dia lakukan – bukannya gagasan yang memfokuskan perhatian pada apa yang
dia lakukan demi mencapai tujuan-tujuan praktis demi kepentingan orang lain,
atau gagasan untuk mencintai orang lain ketimbang selalu menuntut cinta dari
orang lain.
2. Ide
bahwa ada tindakan-tindakan tertentu yang jelek dan merusak, dan pelakunya
mesti dikecam karena tidak tahu malu – bukannya gagasan bahwa tindakan-tindakan
tertentu ada yang merugikan diri sendiri atau anti-sosial, dan pelakunya
pastilah tidak punya pertimbangan yang sehat, masa bodoh atau neurotik dan
mereka ini seharusnya dibantu mengubah diri. Buruknya tindakan seseorang belum
tentu menyebabkan menjadi individu yang tidak berguna.
3. Ide
bahwa ‘dunia akan kiamat’ kalau segala sesuatunya tidak berjalan sesuai dengan
rencana – bukannya gagasan bahwa walaupun sesuatu berjalan tidak sesuai
keinginan namun akan lebih baik kalau kita berusaha mengubah atau mengatur
kondisi buruk tersebut sedemikian rupa sehingga setelah itu besar kemungkinan
kita akan berhasil mengatasi segala kesulitan. Kalaupun kemungkinan itu tidak
ada, kita pun lebih baik bersabar menerima kenyataan dan tetap berusaha mencari
jalan keluar.
4. Ide
bahwa hal-hal yang membuat manusia menderita pasti datang dari luar dan
ditimpakan pada diri kita oleh orang lain – bukannya gagasan bahwa sikap neurotik
itu disebabkan oleh pandangan-pandangan kita sendiri akibat kondisi yang tidak
menguntungkan disekeliling kita.
5. Ide
kalau satu hal sangat menakutkan atau berbahaya, maka kita seharusnya sangat
terobsesi dengan hal itu – bukannya gagasan bahwa kita seharusnya dengan tabah
menghadapi keadaan itu dan memandangnya sebagai bukan akhir dari segalanya.
6. Ide
bahwa lebih mudah menghindar dari kesulitan hidup dan tanggung jawab ketimbang
berusaha menghadapi dan menaklukannya – bukannya gagasan bahwa lebih baik berpikir
dan bertindak sesuai kehendak sendiri dengan apapun resikonya.
7. Ide
bahwa kita membutuhkan sesuatu yang lebih kuat atau lebih besar dari diri kita
sendiri yang dapat dijadikan pegangan – bukannya gagasan bahwa lebih baik
berpikir dan bertindak sesuai kehendak sendiri dengan apapun resikonya.
8. Ide
bahwa kita harus selalu punya kemampuan dan kecerdasan serta selalu berhasil
mengelolanya dengan baik – bukannya gagasan bahwa lebih baik bertindak sesuai dengan
kemampuan ketimbang hanya punya keinginan melakukan hal terbaik dan tidak mau
menerima kenyataan bahwa diri kita adalah makhluk yang tidak sempurna dan pasti
melakukan kesalahan.
9. Ide
bahwa ketika satu peristiwa besar terjadi, peristiwa tersebut pasti berbekas
dan memengaruhi kehidupan kita selamanya – bukannya gagasan bahwa apa yang
terjadi dimasa lalu mesti dijadikan pelajaran buat hari ini dan masa yang akan
datang, serta tidak terlalu terpaku dengan peristiwa masa lalu.
10. Ide
bahwa kita harus mampu mengatur sesuatu dengan baik – bukannya pengganti dari
gagasan bahwa dunia ini penuh dengan kemungkinan-kemungkinan tak terduga dan
kita tetap bisa menjalani kehidupan dengan segala kemungkinan ini.
11. Ide
bahwa kebahagiaan bisa dicapai dengan bakat alami yang ada dalam diri seseorang
sejak lahir dan kebahagiaan itu ditujukan untuk diri sendiri – bukannya gagasan
bahwa keinginan kita untuk bahagia ditentukan oleh kemauan kita mencapai tujuan
secara kreatif atau selalu berusaha meproyeksikan usaha mencapai kebahagiaan
itu keluar.
12. Ide
bahwa kita pada akhirnya tidak dapat menguasai perasaan sendiri dan perasaan
kecewa terhadap sesuatu pasti tidak bisa dielakkan – bukannya gagasan bahwa
kita sebenarnya mampu mengontrol perasaan-perasaan buruk jika kita mau mengubah
pengandaian-pengandaian yang menyebabkan lahirnya perasaan-perasaan buruk itu.
(Diambil dari The Essence of Rational
Emotive Behavior Therapy karangan Albert Ellis, Ph. D, 1994)
Dari banyaknya keyakinan-keyakinan irasional diatas,
sangat terlihat bahwa banyak individu yang belum bisa menerima keadaan diri
sendiri. Padahal ‘kerelaan menerima diri sendiri’ (Acceptance) merupakan suatu hal yang penting. Tidak seorang pun
akan disalahkan, dilecehkan, apalagi dihukum atas keyakinan atau tindakan
mereka yang keliru. Maka dari tu, Ellis mengklasifikasikan ada tiga tingkatan
penerimaan (Acceptance) yang dapat
mengurangi tekanan emosional untuk individu yang memiliki keyakinan-keyakinan
irasional.
a. Unconditional
Self-Acceptance: Berarti kita menerima diri kita apa
adanya beserta kekurangan-kekurangan yang kita miliki. Jika kita memiliki ini,
itu berarti kita mengijinkan diri kita untuk tampil dengan baik tanpa harus
selalu tampil sempurna.
b. Unconditional
Other-Acceptance: Suatu keadaan dimana kita memahami
bahwa terkadang orang-orang disekitar kita pasti akan membuat kita kecewa dan
mungkin tidak selalu bersikap baik atau memperlakukan kita sebagaimana
semestinya.
c. Unconditional
Life-Acceptance: Merupakan suatu sikap dimana kita
menyadari walaupun kita telah merencanakan hidup kita sedemikian rupa seperti
yang kita inginkan, terkadang segala sesuatu terjadi tidak seperti yang kita
harapkan, dan kita harus mampu menerima kenyataan itu.
Dengan
menyadari ketiga hal tersebut, dapat membantu kita mengurangi stress dan
membuat hidup kita jauh lebih bermakna dan berarti tanpa terlalu kaku dalam
pemikiran.
2. Aaron Beck
A. Biografi
Aaron Temkin Beck dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1921
di Providence, Rhode Island. Beck merupakan anak bungsu dari empat saudara
kandung yang terlahir dari imigran Yahudi Rusia. Pada tahun 1950, Beck menikah
dengan Phyllis W. Beck dan dikaruniai 4 anak. Beck merupakan lulusan dari
bidang medis sekolah kedokteran di Yale
Medical School pada tahun 1946. Ia menghabiskan 2 tahun sebagai penerima
beasiswa di Austen Riggs, dimana ia memperoleh pengalaman substansial dalam
melakukan psikoterapi jangka panjang dan juga bekerja sebagai asisten kepala
neuropsikiatri di rumah sakit tentara Valley Forge. Selanjutnya, Beck bergabung
dengan Departemen Psikiatri Universitas Pennsylvania pada tahun 1954 dan
menjadi anggota dari National Institute
of Mental Health, menjadi dewan redaksi untuk berbagai jurnal dan
memberikan kuliah di beberapa Negara. Sejak tahun 1959, Beck telah menjadi
direktur utama beragam penelitian yang didanai untuk investigasi terapi
kognitif dan psikopatologi bagi penderita depresi, kasus bunuh diri, kecemasan,
gangguan merasa panik, pecandu alcohol, penyalahgunaan narkotika, gangguan
makan, gangguan kepribadian, dan skizofrenia. Aaron Temkin Beck adalah presiden
dari Institute Beck untuk terapi kognitif dan Direktur dari Unit Penelitian
Psikopatologi di Universitas.
B. Teori Kognitif Aaron Beck
Aaron
Beck dikenal sebagai ‘Bapak dari Terapi Kognitif’. Beck mengembangkan terapi
kognitif dengan suatu pemikiran bahwa pengalaman-pengalaman yang dialami oleh
seorang individu menghasilkan sebuah kognisi atau pemikiran-pemikiran.
Kognisi-kognisi tersebut berkaitan dengan skema, yaitu keyakinan-keyakinan
dasar yang terus berkembang dari awal kehidupan, guna menciptakan penilaian
kita terhadap dunia dan menentukan keadaan emosional dan perilaku kita. Beck
mempercayai bahwa gangguan-gangguan emosi tercipta dari sikap negatif dan juga
pemikiran yang menyimpang.
Sebenarnya
teori kognitif dari Aaron Beck banyak dipengaruhi oleh tulisan dari George
Kelly dan Albert Ellis. Pada akhirnya Beck memfokuskan pada depresi, walaupun
begitu, ia tetap mencari tahu pendekatan untuk mengklarifikasi
gangguan-gangguan lainnya. Dalam setiap penelitiannya, Beck berusaha untuk
mengidentifikasi unsur kognitif mana yang dapat membuat seorang individu
mengalami suatu gangguan, setelahnya hal itu dikembangkan dan diuji
langkah-langkah yang sistematis untuk memformulasikan petunjuk arahan dalam
terapi.
Pada
teori kognitif dari Beck ada yang namanya ‘Triad Kognitif Depresi’. Ketiga
pandangan negatif tersebut melibatkan hal-hal seperti dibawah ini:
a. Pandangan
negatif tentang diri sendiri – seperti “Saya tidak mampu, tidak diinginkan,
tidak berharga”
b. Pandangan
negatif tentang dunia – seperti “Dunia terlalu banyak menuntut dan hidup ini
seperti pertarungan tak berkesudahan”
c. Pandangan
negatif tentang masa depan – seperti “Dalam hidup selalu ada penderitaan dan
itu terjadi kepada saya saat ini dan di masa depan saya”
Dari
ketiga pemikiran diatas dapat membuat seseorang menjadi depresi. Seseorang yang
depresi cenderung mengalami kegagalan pemrosesan informasi, seperti
membesar-besarkan permasalahan kecil dan mengovergeneralisasi suatu penolakan
ke keyakinan. Masalah-masalah pikiran, skema negatif dan kesalahan kognitif
inilah yang menyebabkan depresi.
Terapi
kognitif dari Beck, berawal dari keyakinan bahwa apa yang kita pikirkan
mempengaruhi apa yang kita rasakan, cara kita berperilaku, dan sikap kita
terhadap lingkungan disekitar. Faktanya, studi menunjukan bahwa kekacauan emosi
kita dapat ditelusuri dari penilaian kita terhadap kejadian-kejadian di masa
lampau. Para terapis kognitif pun meyakini bahwa pemikiran yang menyimpang dari
klien tentang dirinya, dunianya dan masa depan merupakan faktor utama yang
membuat mereka depresi.
Berikut
adalah beberapa penyimpangan kognitif yang dirumuskan oleh Beck:
1. All-or-Nothing
Thinking: Yaitu suatu keadaan dimana kita
melihat semua hal dalam kategori hitam-dan-putih. Disaat penampilan anda jauh
dari kata sempurna, anda melihat diri anda sebagai kesalahan yang mutlak.
2. Overgeneralization:
Dimana saat anda mengalami suatu peristiwa yang kurang baik, maka anda meanggap
hal tersebut sebagai sebuah pola kesalahan yang tidak ada ujungnya.
3. Disqualifying
The Positive: Suatu keadaan dimana anda menolak
suatu peristiwa positif, dengan bersikeras bahwa hal tersebut tidak berkesinambungan
untuk beberapa alasan.
4. Emotional
Reasoning: Suatu keadaan dimana anda
menganggap kalau emosi negatif anda merefleksikan bagaimana segala sesuatu hal
akan terjadi – seperti “I feel it,
therefore it must be true”
Daftar Pustaka
Komalasari, Gantina, et al. 2011. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta: PT. Indeks.
Boeree, C. George. 2006. Personality Theories – Albert Ellis.
Psychology Department Shippensburg University.
Beck, Aaron T. 2005. The Current State of Cognitive Therapy a
40-year Retrospective. Department of Psychiatry, University of
Pennsylvania, Philadelphia.
Thomas, Shamekia. 2015. “Albert Ellis: Theory & Concept” (Online), (http://study.com/academy/lesson/albert-ellis-theory-lesson-quiz.html),
diakses tanggal 4 Maret 2017.
Hartono, et al. 2012. Psikologi Konseling: Edisi Revisi. Surabaya: Kencana.
Cervone, Daniel. Pervin,
Lawrence A. 2012. Personality: Theory and
Research Terjemahan oleh Aliya Tusyani, Evelyn Ridha Manulu, Lala Septiani
S, Petty Gina G, Putri Nurdina. Jakarta: Salemba Humanika.
Borgata Hotel Casino & Spa, Atlantic City - MapyRO
ReplyDeleteHotel Description. Address: 문경 출장마사지 5201 충청남도 출장안마 Hwy 부천 출장안마 50, 과천 출장샵 Atlantic 강릉 출장안마 City, NJ 08401. Phone: (609) 746-7463. (Call Now).