Gangguan Mood
Dalam hidup semua manusia
memiliki perasaan yang berbeda-beda dalam setiap harinya. Perasaan itu
terkadang sedih, senang, marah, dan lain sebagainya yang biasanya berlangsung
sementara. Perasaan tersebut sering disebut dengan mood. Mood merupakan perpanjangan
dari emosi yang berlangsung selama beberapa waktu, kadang-kadang beberapa jam,
beberapa hari, atau bahkan, dalam beberapa kasus depresi beberapa bulan. Mood
yang dialami dalam kehidupan manusia ini sedikit banyak akan berpengaruh kuat
terhadap cara mereka dalam berinteraksi (Meier, 2000: 8-9). Gangguan mood mencakup
berbagai gangguan emosi yang membuat seseorang tidak dapat berfungsi- mulai
dari kesedihan pada depresi hingga euforia yang tidak realistis dan
iritabilitas pada mania.
Pada diri manusia mood ini
datang dan pergi, dan ketika itu terjadi biasanya kita dapat mengatasinya dan
kembali normal. Namun, kenyataannya tidak semudah itu umumnya gangguan mood ini
terjadi pada semua usia, ekspresi gangguan mood pada anak-anak bervariasi
tergantung pada usia mereka. Dua gangguan mood yang terdapat dalam DSM-IV-TR
adalah depresi mayor, yang disebut depresi unipolar, dan gangguan bipolar.
1.
Apa definisi dan karakteristik Gangguan
Mood: Bipolar dan
Depresif?
2.
Bagaimana ciri-ciri atau simtom-simtom dari Gangguan
Mood: Bipolar dan
Depresif?
3.
Bagaimana terapi pada Gangguan Mood: Bipolar dan Depresif?
1.
Untuk mengetahui
definisi dan karakteristik dari Gangguan Mood: Bipolar
dan Depresif
2.
Untuk
mengetahui ciri-ciri atau simtom-simtom dari Gangguan
Mood: Bipolar dan
Depresif
3.
Untuk
mengetahui terapi pada Gangguan Mood: Bipolar dan Depresif
Gangguan mood mencakup berbagai gangguan emosi yang
membuat seseorang tidak dapat berfungsi- mulai dari kesedihan pada depresi
hingga euforia yang tidak realistis dan iritabilitas pada mania.
2.1.1
Depresi-Gejala dan Simtom
Depresi adalah kondisi emosional yang biasanya dengan
kesedihan yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan bersalah, tidak dapat
tidur, kehilangan selera makan dan hasrat seksual menarik diri dari orang lain;
dan minat serta aktivitas yang biasa dilakukan. Depresi sering kali
berhubungan, atau komorbid dengan berbagai masalah psikologis lain, seperti
serangan panik, penyalahgunaan zat, disfungsi seksual dan gangguan kepribadian.
Memusatkan perhatian dapat menjadi sesuatu yang sangat
melelahkan bagi orang-orang yang nengalami depresi. Mereka tidak dapat dengan
mudah memahami apa yang mereka baca dan apa yang sedang dikatakan orang pada
mereka. Percakapan juga bisa menjadi suatu pekerjaan; orang-orang yang depresi
berbicara dengan lambat, setelah lama terdiam hanya menggunakan beberapa kata
dan nada suara rendah dan monoton. Dan banyak yang lebih suka duduk sendirian
dan berdiam diri. Beberapa penderita lain merasa sangat bersemangat dan tidak
dapat duduk tenang. Mereka bergerak cepat, meremas tangan, selalu mengeluarkan
suara dan menyampaikan keluhan. Bila orang yang depresi dihadapkan pada suatu
masalah mereka tidak bisa memikirkan cara menyelesaikannya. Setiap momen
menjadi sangat berat dan kepala mereka terus menerus dipenuhi dengan pikiran
menyalahkan diri sendiri. Orang-orang yang depresi dapat mengabaikan kebersihan
dan penampilan diri serta mengeluhkan berbagai simptom-somatik tanpa gangguan
fisik yang jelas (Simon dkk., 1999). Sangat berkecil hati dan benar-benar tidak
memiliki harapan serta inisiatif, mereka selalu merasa khawatir, cemas, dan
pesimis hampir sepanjang waktu.
Simtom dan gejala-gejala depresi cukup bervariasi
tergantung tingkatan usia. Depresi pada
anak-anak sering kali mengakibatkan berbagai macam keluhan somatik seperti
sakit kepala atau sakit perut. Pada orang-orang tua, depresi sering kali oleh
ketidakmampuan untuk memusatkan perhatian dan keluhan hilangnya memori. Simtom-simtom depresi menunjukkan
beberapa variasi antarbudaya, mungkin disebabkan oleh berbagai perbedaan
standar mengenai perilaku yang dapat diterima. Contohnya, keluhan sakit saraf dan
kepala lebih umum terjadi pada etnis Latin, dan rasa lemah serta fatik
dilaporkan umum terjadi pada etnis Asia. Beberapa depresi meskipun dialami
berulang, gejala sembuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Namun,
rata-rata episode yang tidak ditangani dapat berlangsung hingga lima bulan atau
lebih dan bahkan dapat terasa lebih lama bahi pasien dan keluarganya. Bunuh
diri menjadi risikonya.
2.1.2
Mania-Gejala dan Simtom
Mania adalah kondisi emosional atau mood yang intens. Namun
merupakan kegembiraan amat sangat yang tidak beralasan atau mudah tersinggung
yang disertai hiperaktivitas, banyak berbicara, pikiran yang melompat-lompat
perhatian yang mudah teralih, dan rencana yang tidak praktis dan kebesaran
(grandiose). Beberapa orang yang mengalami beberapa periode episodik depresi
pada waktu-waktu tertentu secara tiba-tiba juga menjadi manik. Meskipun terdapat terdapat berbagai laporan klinis mengenai
individu-individu yang mengalami mania, namun tidak mengalami depresi, kondisi
ini cukup jarang ditemui di rumah sakit.
Orang yang berada dalam suatu episode manik, yang dapat
berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan, dapat segera dikenali melalui
rentetan kata-kata yang diucapkan dengan keras dan tanpa henti, penuh dengan
kata-kata konyol gurauan, puisi, dan komentar tentang berbagai objek dan
kejadian di sekitarnya yang menarik perhatian si pembicara. Rentetan kata-kata
tersebut sulit dinterupsi dan mengungkap apa yang disebut pikiran yang
melompat-lompat pada penderita manik. Meskipun sebagian kecil pembicaraannya
logis, orang yang bersangkutan bisa dengan cepat berpindah dari satu topik ke
topik lain. Kebutuhan pasien untuk melakukan aktivitas dapat menjadi berlebihan
dalam hubungan sosial dan dirasakan mengganggu oleh orang lain, ia
terus-menerus melakukan kesibukan yang kadang tanpa tujuan, dan sayangnya,
tidak menyadari ada kegagalan upayanya yang tampak jelas. Perilaku seksual yang
tidak bertanggung jawab juga dapat pada terjadi pada mania. Setiap upaya untuk
mengendalikan berbagai ekses tersebut dapat langsung menimbulkan kemarahan dan
bahkan amukan. Mania biasanya secara tiba-tiba terjadi dalam satu atau dua
hari.
2.1.3
Daftar Diagnostik Resmi Gangguan
Mood
Dua gangguan mood yang terdapat dalam DSM-IV-TR adalah
depresi mayor, yang juga disebut unipolar dan gangguan bipolar.
Diagnosis Depresi. Diagnosis resmi
despresi mayor dalam DSM-IV-TR memerlukan hadirnya empat simtom tambahan,
seperti gangguan tidur atau nafsu makan, kehilangan energi, perasaan tidak
berarti, pikiran untuk bunuh diri dan sulit berkonsentrasi.
Diagnosis Gangguan Bipolar. DSM-IV-TR
mendefinisikan gangguan bipolar I
sebagai gangguan yang mencakup episode mania atau episode campuran yang
mencakup simtom-simtom mania dan depresi.
Sebagian besar
individu yang menderita gangguan bipolar I juga mengalami depresi. Diagnosis
resmi episode manik memerlukan adanya mood yang melambung atau mudah
tersinggung ditambah tiga simtom tambahan (empat jika moodnya mudah tersinggung).
Depresi telah
diteliti dari berbagai perspektif. Berbagai teori sebagian besar menjelaskan
berbagai dhiatesis yang berbeda dalam suatu teori dhiatesis-stress umum. Peran
stressor dalam memicu episode depresi juga dijelaskan dengan baik
(Kendler,Karkowski, dan Prescott,1999), meskipun pentingnya stressor tersebut
tampaknya berkurang seiring meningkatnya jumlah episode (Lewinshon dkk., 1999;
Pardoen dkk., 1996).
2.2.1
Teori Psikoanalisis Depresi
Dalam
tulisannya yang terkenal “Mourning and
Melancholia,” Freud (1917/1950) berteori bahwa potensi depresi diciptakan
pada awal masa kanak-kanak. Dalam
periode oral, kebutuhan seorang anak dapat kurang dipenuhi atau dipenuhi secara
berlebihan sehingga menyebabkan seseorang terfiksasi pada tahap ini dan
tergantung pada pemenuhan kebutuhan
instingtual yang menjadi ciri tahap ini. Dengan terbawanya kondisi tersebut
dalam tahap kematangan psikoseksual, fiksasi pada tahap oral tersebut, orang
yang bersangkutan dapat memiliki kecenderungan untuk sangat tergantung pada
orang lain untuk mempertahankan harga dirinya.
2.2.2
Teori Kognitif Depresi
·
Teori Beck mengenai Depresi.
Teori
kontemporer terpenting yang menganggap proses-proses berfikir sebagai faktor
penyebab depresi adalah teori Aaron Beck (1967, 1987). Pemikiran sentralnya adalah
bahwa orang-orang yang depresi memiliki perasaan seperti demikian karena
pemikiran mereka menyimpang dalam bentuk interpretasi negatif.
Menurut Beck,
pada masa kanak-kanak dan remaja orang-orang yang depresi mengembangkan skema
negatif – suatu kecendedungan untuk melihat lingkungan secara negatif – melalui
kehilangan orang tua, tragedi yang terjadi susul- menyusul, penolakan sosial
oleh teman-teman sebaya, kritik para guru, atau sikap depresif orang tua.
Berikut ini
adalah beberapa penyimpangan kognitif utama pada individu yang depresi menurut
Aron Beck.
1.
Kesimpulan yang subjektif
(arbitrary inference) – suatu
kesimpulan yang diambil tanpa bukti-bukti cukup atau tanpa bukti sama sekali.
2.
Abstraksi selektif (selektive
abstraction) – suatu kesimpulan yang diambil
hanya berdasarkan satu elemen dari banyak elemen dalam elemen dalam suatu
situasi.
3.
Overgeneralisasi – suatu kesimpulan menyeluruh yag diambil berdasarkan
satu peristiwa tunggal yang mungkin tidak penting
4.
Magnifikasi dan minimisasi – melebih-lebihkan dalam menilai kinerja.
·
Teori
Ketidakberdayaan/Keputusasaan.
Teori ini
membahas evolusi sebuah teori kognitif tentang depresi yang berpengaruh
–sebenarnya, tiga teori – yaitu teori ketidakberdayaan yang asli; versi
lanjutannya yang lebih kognitif dan atribusional; dan transformasinya menjadi
teori keputusasaan.
Ketidakberdayaan yang Dipelajari (Learned Helplessness).
Premis dasar teori learned
helplessness adalah kepasifan individu dan perasaan tidak mampu bertindak dan
mengendalikan hidupnya terbentuk melalui pengalaman yang tidak menyenangkan dan
trauma yang tidak berhasil dikendalikan oleh individu, menimbulkan rasa tidak
berdaya yang kemudian memicu depresi.
Atribusi dan Learned
Helplessness. Seseorang
menjadi depresi menurut teori ini, bila mereka mengatribusikan berbagai
peristiwa kehidupan yang negatif pada berbagai penyebab yang stabil dan global.
Apakah harga diri juga hancur akan tergantung pada apakah mereka menyalahkan
ketidakmampuan mereka atas hasil yang buruk tersebut.
Teori Keputusasaan (Hopelessness
Theory). Beberapa bentuk depresi (depresi
karena keputusasaan) dewasa ini dianggap disebabkan oleh kondisi putus asa,
suatu ekspetasi bahwa hasil yang diinginkan tidak akan terjadi atau yang tidak
diinginkan akan terjadi dan bahwa orang yang bersangkutan tidak dapat
memberikan respons untuk mengubah situasi tersebut.
2.2.3
Teori
Interpersonal Depresi
Pada
bagian ini menjelasakan tentang bagaimana hubungan orang-orang yang depresi
dengan orang lain. Para individu yang depresi cenderung memiliki sedikit
jaringan sosial dan menganggap jaringan sosial hanya memberikan sedikit
dukungan (Keltner & Kring, 1998). Kurangnya dukungan sosial tersebut
kemungkinan disebabkan oleh fakta bahwa orang-orang yang depresi memicu reaksi
negatif dari orang lain (Coyne, 1976). Data menunjukkan bahwa perilaku
orang-orang yang depresi menimbulkan penolakan. Kesulitan dan kurangnya
hubungan interpersonal dapat menjadi penyebab depresi dan juga menjadi
konsekuensinya. Perilaku interpersonal secara jelas berperan besar dalam
depresi.
2.2.4
Teori
Psikologis Gangguan Bipolar
Seperti
halnya dalam depresi unipolar, stress kehidupan tampaknya berperan penting
dalam memicu berubah-ubahnya mood pada gangguan bipolar (Johnson & Miller,
1997; Malkoff-Schwartz dkk.,1998). Berbagai temuan lain terkait episode
depresif dalam gangguan bipolar juga sama dengan gangguan berbagai temuan
terkait depresi unipolar (atau mayor). Dalam suatu studi prospektif terhadap
para pasien bipolar, Johnson dan para koleganya (1999) menemukan bahwa dukungan
sosial memprediksi pemulihan yang lebih cepat serta berkurangnya simtom-simtom
depresif, namun tidak demikian dengan simtom-simtom manik. Dalam suatu studi
mengenai faktor-faktor kognitif, gaya atribusional dan sikap disfungsional
bersama dengan peristiwa negatif dalam hidup memprediksi meningkatnya
simtom-simtom depresi pada pasien bipolar (Reilly-Harrington dkk., 1999).
2.3.1
Data Genetik
Penelitian
mengenai faktor-faktor genetik dalam gangguan bipolar dan depresi unipolar
menggunakan metode keluarga, orang kembar dan orang-orang yang diadopsi.
Sekitar 10 hingga 25 persen kerabat tingkat pertama para pasien bipolar
mengalami suatu episode gangguan mood (Gershon, 1990).
Informasi yang
tersedia mengenai depresi unipolar mengindikasikan bahwa faktor-faktor genetik,
meskipun berpengaruh, namun kurang berperan dibanding dalam gangguan bipolar.
Contohnya, dalam suatu studi para kerabat orang-orang yang mengalami depresi
hanya memiliki resiko sedikit lebih tinggi dibanding risiko normal (Kendler
dkk., 1993).
2.3.2
Neurokimia dan Gangguan Mood
Ada dua
neurotransmitter yang paling banyak dipelajari, yaitu norepinefrin dan
serotonin. Teori norepinefrin merupakan yang paling relevan dengan gangguan
bipolar, dan secara umum, dinyatakan bahwa kadar norepinefrin yang rendah
memicu depresi dan kadar yang tinggi memicu mania. Teori serotonin menyatakan
bahwa kadar seortonin yang rendah menimbulkan depresi.
Cara kerja
obat-obatan yang digunakan untuk menangani depresi memberikan berbagai petunjuk
yang mendasari kedua teori diatas. Pada tahun 1950-an dua kelompok obat, trisiklik
dan penghambat monoamin oksidase, diketahui efektif untuk menyembuhkan depresi.
2.3.3
Sistem Neuroendokrin
Aksis
hipotalamus-pituitari-adrenokortikal juga dapat berperan dalam depresi. Bagian
limbik pada otak sangat terkait dengan emosi dan juga mempengaruhi hipotalamus.
Hipotalamus kemudian mengatur berbagai kelenjar endoktrin dan sekaligus kadar
hormon yang dihasilkan berbagai kelenjar tersebut. Hormon-hormon yang dihasilkan oleh hipotalamus
juga mempengaruhi kelenjar pituitari dan hormon-hormon yang dihasilkannya.
Karena relevansinya dengan apa yang disebut simtom-simtom vegetatif pada
depresi, seperti gangguan nafsu makan dan tidur, diperkirakan aksis
hipottalamus-pituitasi-adrenokortial bekerja terlalu aktf dalam depresi.
2.3.4
Teori Terpadu Gangguan Bipolar
Beberapa
peneliti mengungkapkan bahwa gangguan bipolar mencerminkan suatu gangguan dalam
sistem motivasional yang disebut sistem aktivasi behavioral atau BAS (behavioral activation system) (s.l.,
Depue, Collins & Luciano, 1996; Johnson & Roberts, 1995). Secara
behavioral, BAS memfasilitasi kemampuan kita untuk mencari dan mendapatkan
imbalan d idalam lingkungan, dan hal itu terkait dengan kondisi emosional
positif, berbagai karakteristik kepribadian seperti ekstraversi, meningkatnya
energi, dan berkurangya kebutuhan untuk tidur. Secara biologis, BAS diyakini
terkait dengan jalur-jalur saraf didalam otak yang melibatkan neurotransmitter
dopamin, yang sering kali terkait dengan perilaku imbalan (reward behavior) (a.l., Depue & Collins, 1999).
Sangat penting
untuk menangani depresi serta gangguan bipolar. Banyak terapi dewasa ini
bersifat psikologis dan biologis; baik sendiri-sendiri atau dikombinasikan,
berbagai terapi tersebut cukup efektif.
2.4.1
Terapi Psikologis Depresi
Terapi Psikodinamika. Dalam bahasa yang paling umum, tujuan terapi psikoanalisis
adalah mengungkap motivasi laten atas depresi yang dialami pasien. Terapi
psikodinamika ini tidak bersifat sangat intrapsikis. Terapi ini menitikberatkan
pada pemahaman yang lebih baik terhadap berbagai masalah interpersonal yang
diasumsikan memicu terjadinya depresi dan bertujuan memperbaiki hubungan dengan
orang lain. Fokusnya terletak pada kehidupan pasien pada saat ini, bukan pada
penggalian masa lalu pasien yang sering kali merupakan penyebab yang ditekan
dari berbagai masalah saat ini.
Terapi Kognitif dan Perilaku. Beck dan para rekannya menyusun teori kognitif yang
bertujuan untuk mengubah pola pikir maladaptif. Terapis mencoba mempersuasi
orang yang depresi untuk mengubah pendapatnya tentang berbagai peristiwa dan
tentang dirinya sendiri.
Terapi Kognitif Berbasis-Pola Pikir (Mindfulness-Based Cognitiven Therapy).
Adaptasi mutakhir terapi
kognitif yang disebut terapi kognitif berbasis pola pikir (MBCT) memfokuskan
pada pencegahan kekambuhan setelah keberhasilan suatu penanganan depresi (Segal
dkk., 1996; Segal dkk., 2001; Teasdale., dkk., 1995).
Tujuan MBCT
ini adalah mengajarkan kepada individu untuk mengetahui kapan mereka menjadi
depresi dan mencoba mengadopsi apa yang disebut perspektif “desentral”,
memandang pikiran mereka hanya sebagai “peristiwa mental” dan bukan sebagai
aspek inti diri mereka atau sebagai refleksi akurat realitas. Contohnya
mencakup pernyataan diri, seperti “pemikiran bukan merupakan fakta” dan “saya
bukanlah seperti apa yang saya pikirkan” (Teasdale dkk. 2000, hlm.616).
Pelatihan Kemampuan Sosial. Karena ciri utama depresi adalah kurangnya pengalaman
yang memuaskan dengan orang lain, berbagai penanganan behavioral memfokuskan
untuk membantu pasien memperbaiki interaksi sosial. Pendekatan terapi ini
dikembangkan secara independen dari penelitian mengenai aspek-aspek
interpersonal depresi namun cukup konsisten dengannya. Suatu kajian
menyimpulkan bahwa berbagai penanganan yang berbasis pelatihan keterampilan
sosial efektif untuk menyembuhkan depresi (Segrin, 2000).
Terapi Aktivasi Behavioral. Para pendukung BA
berargumentasi bahwa sebagian besar perilaku individu yang depresi berfungsi
sebagai alat untuk menghindar ketika individu berusaha menghadapi lingkungan
yang berciri rendahnya jumlah penguatan positif atau tingginya jumlah situasi
yang meyakitkan. Konsekuensinya, aktivasi behavioral berusaha membuat pasien
menjalankan perilaku dan aktivitas yang secara positif akan menguatkan dan akan
membantu menghentikan spiral depresi.
2.4.2
Terapi Psikologis Gangguan
Bipolar
Berbagai
terapis psikologis juga menjanjikan dalam menangani berbagai masalah
interpersonal, kognitif, dan emosional pada para pasien bipolar.
Suatu
pendekatan terapi yang disebut dengan penanganan berfokus keluarga
(FFT-Family-Focused Treatment) merupakan terapi psikososial denga waktu
terbatas bagi pasien gangguan bipolar yang dirawat jalan dan keluarganya.
Terapi tersebut mencakup edukasi kepada keluarga mengenai penyakit terkait,
berupaya meningkatkan komunikasi dalam keluarga, dan pelatihan penyelesaian
masalah (Miklowitz, 2001; Miklowiz & Goldstein, 1997).
Suatu terapi
penyelesaian masalah, yang disebut terapi ritme interpersonal dan sosial, yang
membantu pasien agar dapat lebih baik dalam menghadapi berbagai peristiwa hidup
yang memicu stress dan episode manik, juga memperoleh beberapa dukungan empiris
(Craighead & Miklowitz, 2000, Frank, 2000).
Terapi ritme
interpersonal dan sosial diberikan bersama dengan obat-obatan dan menggabungkan
prinsip-prinsip dasar psikoterapi interpersonal dan teknik-teknik behavioral.
Tujuannya adalah membantu pasien mengatur rutinitas harinnya, menyelesaikan
masalah-masalah interpersonal, dan patuh terhadap pengobatan medis sesuai
resep.
2.4.3
Terapi Biologis Gangguan Mood
Berbagai
variasi terapi biologis digunakan untuk menangani depresi dan mania. Dua jenis
terapi yang paling umum adalah terapi kejut elektrikonvulsif dan obao-obatan.
·
Terapi Elektrikonvulsif (ECT-electroconvulsive therapy)
ECT diciptakan
oleh dua orang dokter berkebangsaan Italia, Cerletti dan Bini, pada awal abad
ke-20. ECT
meupakan penanganan efektif untuk depresi parah. Penggunaan kejutan unilateral,
anestetik, dan pengendor otot mengurangi efek sampingnya yang tidak diinginkan.
ECT mencakup penciptaan kejang dan ketidaksadaran sementara untuk suatu tujuan
dengan mengalirakan arus listrik sebesar 70 dan 130 volts ke dalam otak pasien.
Elektroda pada
awalnya dilekatkan dikedua sisi kening sehingga memungkinkan arus listrik
memasuki dua belahan otak, suatu metode yang disebut ECT bilateral. Dewasa ini, ECT unilateral, dimana arus listrik
hanya memasuki belahan serebral yang tidak dominan (kanan), lebih umum
digunakan. Secara umum ECT mengurangi aktivitas metabolik dan sirkulasi darah
ke otak dan sekaligus dapat menghambat beberapa aktivitas otak yang tidak
normal.
·
Terapi Obat
Terapi Obat Untuk Depresi. Tiga
kategori utama obat-obatan antidepresan;
1.
Trisklik,
seperti imipramin (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil);
2.
Penghambat
pengembalian serotonin selektif (SSRI-Selective serotonin reuptake inhibitors),
seperti fluoksetin (Prozac) dan setralin (Zolofit);
3.
Penghambat
monoamin oksidase (MAO), seperti tranilsipromin (Parnate).
Terapi Obat untuk Gangguan Bipolar. Orang-orang yang menderita gangguan bipolar dengan mood
yang berubah-ubah seringkali ditangani dengan pemberian elemen lithium dengan
dosis yang dipantau secara hati-hati, dalam bentuk garam lithium karbonat. Lithium efektif untuk pasien bipolar ketika
mereka mereka berada dalam kondisi depresi maupun manik, dan jauh lebih efektif
untuk pasien bipolar daripada untuk pasien unipolar.
Karena efek
lithium timbul secara bertahap, terapi umumnya diawali dengan lithium dan suatu
obat antipsikotik, misalnya Haldol, yang memiliki efek penenang langsung.
DSM-IV-TR
mendiagnosis gangguan mood pada anak-anak dengan menggunakan kriteria bagi
orang dewasa, dengan mencantumkan ciri-ciri spesifik berdasarkan umur seperti
mudah tersinggung dan perilaku agresif bukannya mood depresi.
2.5.1
Simtom dan Prevalensi Depresi
Masa Kanak-Kanak dan Remaja
Terdapat
persamaan dan perbedaan dalam simtomatologi anak-anak dan orang dewasa yang
menderita depresi mayor (Garber & Flynn, 2001). Anak-anak dan remaja
berusia 7 hingga 17 tahun memiliki kesamaan dengan orang dewasa dalam mood
depresi, ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan, fatik, masalah konsentrasi,
dan pemikiran untuk bunuh diri. Simtom-simtom berbeda adalah tingkat percobaan
bunuh diri dan rasa bersalah yang lebih tinggi pada anak-anak dan remaja,
sedangkan pada orang dewasa lebih sering bangun lebih awal di pagi hari,
kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, dan depresi dini hari.
Penelitian
baru-baru ini menunjukkan bahwa depresi dan kecemasan dapat dibedakan pada
anak-anak dan remaja dengan cara yang sama persis dengan pada orang dewasa:
kadar afek positif yang rendah tampaknya spesifik pada anak-anak yang menderita
depresi, sedangkan kadar efek negatif yang tinggi terdapat dalam kecemasan dan
depresi (Joiner & Lonigan, 2000). Depresi juga umum terjadi pada anak-anak
yang mengalami gangguan tingkah laku dan
gangguan pemusatan perhatian (Fleming
& Offord, 1990; Kashani dkk., 1987; Rohde dkk., 1991). Anak-anak yang
menderita depresi sekaligus gangguan lain diketahui mengalami depresi yang
lebih parah dab lebih lama mencapai kesembuhan (Keller dkk., 1988; Kovacs dkk.,
1984).
2.5.2
Etiologi Depresi pada Masa
Kanak-Kanak dan Remaja
Bukti-bukti
menunjukkan bahwa faktor-faktor genetik memegang suatu peranan (Puig-Antich
dkk., 1989; Klein, Lewinson, Seeley; & Rhode, 2001; Tsuang &Faraone,
1990).
Ditemukan
bahwa anak-anak yang mengalami depresi dan orang tua mereka saling berinteraksi
secara negatif. Contohnya, menunjukkan kurangnya kehangatan dan lebih
hostilitas satu sama lain dibanding antara anak-anak yang tidak mengalami
depresi dan orang tua mereka (Biglan dll., 1988; Chiariello & Orvaschel,
1995). Anak-anak dan remaja yang mengalami depresi mayor juga memiliki
keterampilan sosial rendah dan hubungan yang tidak baik dengan saudara-saudara
kandung serta teman-teman mereka (Lewinsohn dkk., 1994; Puig-Antich dkk.,
1993). Pola perilaku tersebut mungkin merupakan penyebab dan sekaligus
konsekuensi depresi.
2.5.3
Penanganan Depresi Masa
Kanak-Kanak dan Remaja
Sebagian besar
intervensi psikososial didasari penelitian klinis terhadap orang dewasa. Anak
usia sekolah kelas lima dan enam menunjukkan perbaikan kondisi depresi setelah
menjalani intervensi peran dalam kelompok kecil yang berkonsentrasi pada
intruksi dalam keterampilan sosial dan penyelesaian masalah sosial dalam
berbagai situasi penuh stres. Beberapa anak yang mengalami depresi mengetahui
bagaimana berhubungan dengan orang lain secara pantas, namun tampaknya tidak
dapat mempraktikkannya karena adanya berbagai pemikiran negatif dan ketegangan
fisologis. Secara keseluruhan berbagai penanganan yang mencakup pelatihan
keterampilan sosial, penyelesaian masalah, dan teknik-teknik kognitif seperti
yang digunakan secara berhasil pada orang dewasa terbukti efektif (Kaslow &
Thompson, 1998).
Penanganan
bagi anak-anak dan remaja yang mengalami depresi dapat memberikan hasil terbaik
dengan menggunakan suatu pendekatan berspektrum luas yang tidak hanya
melibatkan si anak atau remaja yang terkait, namun juga keluarga dan sekolah
(Hammen, 1997; Stark dkk., 1996, 1998). Terapi juga harus memfokuskan pada
orangtua yang mengalami depresi selain si anak itu sendiri. Orang tua yang
depresi kemungkinan mengomunkasikan kepada anak-anak mereka pandangan mereka
yang pesimistis terhadap diri sendiri dan dunia, dan anak-anak sangat
dipengaruhi oleh pemikiran orang tuanya. Pendekatan ini juga menunjukkan
pentingnya mengajarkan kepada anak-anak dan remaja berbagai cara untuk
mengahdapi stres interpersonal dengan prilaku terbuka yang lebih efektif.
Gangguan mood mencakup berbagai gangguan emosi yang
membuat seseorang tidak dapat berfungsi- mulai dari kesedihan pada depresi
hingga euforia yang tidak realistis dan iritabilitas pada mania.
Dalam depresi
mayor atau unipolar, seseorang mengalami kesedihan yang sangat mendalam serta
masalah yang berkaitan, seperti gangguan tidur dan selera makan serta
kehilangan energi dan harga diri.
Berbagai
diagnosis gangguan mood pada anak-anak dalam DSM-IV-TR menggunakan kriteria
bagi orang dewasa, namun mencantumkan beberapa ciri berdasarkan umur seperti
mudah tersinggung dan perilaku agresif sebagai pengganti mood depresi.
Kecenderungan
untuk melenyapkan diri sendiri dengan bunuh diri tidak terbatas pada orang yang
mengalami depresi. Sangat banyak informasi yang dapat digunakan untuk membantu
mencegah bunuh diri, meskipun tidak ada satupun teori yang dapat menjelaskan sangat
beragamnya motif bunuh diri dan situasi yang melatarbelakanginya.
Davison, C. Gerald; dkk. (2006).
Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nevid, S. Jeffrey; dkk. (2006). Psikologi
Abnormal. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Comments
Post a Comment